Jumat, 15 April 2011

ni yao de ai

Ni Yao De Ai

Artist: Penny Dai
Original Sountrack (OST): Meteor Garden
Sui ran jing chang meng jian ni
Hai shi hao wu tou xu
Wai mian zheng zai xia zhe yu
Jing tian shi xing qi ji
BUT I DON'T KNOW
Ni qu na li

Sui ran bu ceng huai yi ni
Hai shi tan te bu ding....
Shui shi ni de na ge wei yi
Yuan liang wo, huai yi zi ji

Wo ming bai... Wo yao de ai
Hui ba wo chong huai....
Xiang yi ge xiao hai
Zhi dong zai ni huai li huai
Ni yao de ai
Bu zhi she yi lai
Yao xiang ge da nan hai
Feng chui you ri sai
Sheng huo zi you zi zai

Selasa, 12 April 2011

ayam den lapeh

Ayam Den Lapeh

Artis (Band): Elly Kasim / Hamid
Luruihlah jalan payakumbuah
babelok jalan ka andaleh
dima hati indak karasuah
ayam den lapeh
ai ai ayam den lapeh

Mandaki jalan pandai sikek
manurun jalan ka palupuah
dima hati indak kamaupek
awak ta kicuah
ai ai ayam den lapeh
Siku capang siku capeh
saikua tabang sikua lapeh
lapehlah juo nan karimbo
oi lah malang juo
Pagaruyuang hai batu sangka
tampek bajalan urang baso
duduak tamanuang tiok sabantar
oi takana juo
ai ai ayam den lapeh
ai ai ayam den lapeh

Rabu, 30 Maret 2011

lirik lagu west life_i lay my love on you

I Lay My Love On You

Artist: Westlife
Just a smile and the rain is gone
Can hardly believe it (yeah)
There's an angel standing next to me
Reaching for my heart

Just a smile and there's no way back
Can hardly believe it (yeah)
But there's an angel and calling me
Reaching for my heart

I know that I'll be OK now
This time is real

( chorus )
I lay my love on you
It's all I wanna do
Everytime I breathe I feel brand new
You open up my heart
Show me all your love and walk right through
As I lay my love on you

I was lost in a lonely place
Could hardly believe it (yeah)
Holding on to yesterdays
Far, far too long

Now I believe its OK cause
This time it's real

( repeat chorus )

I never knew that love
Could feel so good
Like a once in a lifetime
You change my world

( repeat chorus

Senin, 28 Maret 2011

contoh kasus kewarganegaraan

Benang Kusut Masalah Kewarganegaraan

Apa yang membuat masalah kewarganegaraan penduduk keturunan asing di Indonesia demikian rumit?
Liong Solan duduk terpekur. Di hadapan wanita 58 tahun itu terserak fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan KTP WNI. “Ini sudah ditarik,” tuturnya. “Ka­tanya tidak sah.” Raut kebingungan tersirat jelas di wajah­­nya. Sebagai ibu rumah tangga tanpa mengecap bang­ku sekolah, Solan tak paham tentang kewarganegaraan, undang-undang, dan serangkaian peraturan yang me­nyertai­nya. Ia hanya tahu bahwa ia lahir dan menetap di Indonesia. Ia bingung mengapa sulit dan mahal mengurus dokumen sebagai WNI.
Siang itu, di rumah berlantai tanah beru­kuran 3×5 meter di bilangan Jakarta Pusat, Solan mengisahkan keresahannya. Terlahir di Jakarta dari ayah seorang warga negara Tiongkok dan ibu “Cina Benteng”, seumur hidup Solan tak pernah punya KTP WNI. Sebuah fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemda Chusus Ibukota Jakarta mencantumkan kewargane­garaannya sebagai “tanpa kewarganegaraan”.
 Kartu yang habis masa berlakunya pada 1971 itu menjadi andalannya untuk semua urusan ad­mi­nistrasi. Akta lahir dan dokumen lain tidak ia miliki. Ketika ayahnya memutuskan pulang ke Tiongkok sebagai dampak PP No.10/1959, seke­luarga­ berrencana dibawa serta. Ibunda Solan, Gouw­ Em Nio, pun memilih kewarganegaraan Tiongkok. Apa daya, mereka tak kebagian kapal. Itulah ­terakhir kalinya Solan melihat sang ayah yang kapalnya karam dalam pela­yaran ke Tiongkok. Kewarganegaraan Gouw Em Nio dan anak-anaknya pun terkatung-katung karena tidak pernah lagi diurus. “Saya pernah coba ikut bikin SBKRI tahun 1980 dan 1996, tapi gagal,” terangnya. “Nggak ada duit-nya.”
Dalam kebingungannya, pada 2003 Solan meng­adu ke Komisi Ombudsman Nasional. Ber­be­kal surat pengantar RT dan KK Kelurahan Mangga Dua Selatan yang ia miliki setelah menikah de­ngan suami yang juga tanpa dokumen kewarganega­raan. Ia mengeluhkan mengapa membuat KTP sulit dan harus membayar mahal. Selang sebulan, Komisi Ombudsman menindaklanjuti dan menemukan fakta bahwa ia tak tercatat dalam master data penduduk Kelurahan Mangga Dua Selatan.
Singkat cerita, datanglah oknum pegawai kelurahan mena­war­kan memproses KTP berikut KK dengan biaya satu juta ru­­piah. Solan menawar dua ratus ribu rupiah, jumlah yang ia sanggupi. Setelah tawar-menawar alot, akhirnya disepa­kati harga empat ratus ribu rupiah. Dalam keluguannya, Solan me­­min­ta kwitansi pembayaran yang tentu saja tidak diberi.
Setelah KTP dan KK-nya selesai pada Januari 2006, Solan mendengar Gubernur Sutiyoso mengatakan bahwa biaya pem­buatan KTP gratis.
Maka Solan pun menulis surat kepada Sutiyoso, mencerita­kan bagaimana proses pembuatan KTP dan KK-nya yang be­gi­tu mahal plus mempermasalahkan mengapa ia tidak di­be­ri kwitansi. Kasus ini akhirnya menjadi masalah besar. Gubernur Sutiyoso mengusut oknum pegawai kelurahan tersebut. Akhirnya oknum tersebut ditindak. Uang empat ratus ribu milik Solan dikembalikan. KTP berikut KK Solan ditarik kare­na dianggap tidak sah. Solan pun diminta menandata­ngani surat perjanjian bahwa ia takkan mempermasalahkan kasus ini lagi.
“Jadi sekarang saya harus bagaimana?” isaknya. “Mengapa tidak dikatakan saja dari awal kalau saya tidak bisa meng­urus KTP dan KK, beritahu saya bagaimana cara yang benar dong...”
Kasus Liong Solan adalah salah satu contoh rumitnya masalah kewarganegaraan di Indonesia. Indradi Kusuma dari Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) menyatakan masalah ini sudah bercampur antara ruwetnya sejarah, perilaku diskriminatif, tidak taat pada peraturan, dan unsur korupsi.
Memahami mengapa masyarakat keturunan Tionghoa  meng­­­a­lami kerumitan ini, memaksa kita menoleh kembali ke masa lalu, masa-masa awal kelahiran republik ini.
Saat UU Kewarganegaraan pertama bernomor No.03/1946 diberlakukan, keturunan asing diberi waktu dua tahun un­tuk memilih kewarganegaraannya. Bila menolak kewarganegara­an RI, mereka harus melapor. Tanpa melapor mereka otomatis menjadi WNI. Dalam istilah hukum, ini disebut stelsel pasif. Kebi­jakan ini dipilih karena Indonesia masih menghadapi ancaman Belanda. Potensi etnis Tionghoa dianggap signifikan dalam melawan Belanda.
Masalah muncul ketika Belanda mengintervensi kedaulat­an Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949. Diputuskan bahwa masalah kewarganegaraan kembali mengacu pada hukum Belanda Nederlansche Onderdaanschap van niet Nederlanders (Stb. 1910-126) yang membagi penduduk dalam strata Kawula Belanda, Kawula Timur Asing, dan Kawu­la Pribumi.
Menurut perjanjian ini, Kawula Timur Asing harus menentukan kewarganegaraan dengan stelsel pasif. Sementara Ka­wu­la Belanda memilih kewarganegaraan dengan stelsel aktif. Artinya bila ingin menjadi WNI harus melapor.
Sebenarnya permasalahan kewarganegaraan lebih beraspek­ hukum. Berdasarkan Konvensi Den Haag tahun 1930, setiap negara mempunyai independensi untuk menentukan siapa yang menjadi warga negaranya. Mempertimbangkan kemesraan politik poros Jakarta-Beijing-Pyongyang saat itu, in­de­pendensi hukum kewarganegaraan harus dikalahkan oleh kepentingan politik luar negeri. Ditambah lagi tahun 1950 RI resmi mengakui Republik Rakyat Tiongkok dengan One China Policy-nya, termasuk di antaranya mengenai politik kewarga­negaraan RRT yang berasas­ ius sanguinis, yaitu mengakui se­mua­ keturunan warga Tiong­kok di belahan dunia mana pun sebagai warga negara­ Tiongkok.
Maka pada 1955 Perdana Menteri merangkap Men­teri Luar Negeri Tiongkok, Zhou En Lai dan Menteri Luar Negeri RI Sunario menyepakati perjanjian dwikewarganegaraan yang disahkan dalam UU No.02/1958. Perjanjian ini memberikan kesempatan dua tahun pada penduduk keturunan Tionghoa untuk memilih kewarganegaraannya, yaitu antara 20 Januari 1960 sampai 20 Januari 1962.
Penduduk keturunan Tionghoa pun terbagi dalam tiga sta­tus,­ yaitu Warga Negara Tiongkok Tunggal, WNI Tung­gal, dan Dwikewarganegaraan. Warga Negara Tiongkok­ Tunggal adalah mereka yang menolak kewarganegara­an RI berdasarkan UU No.03/1946. Ada juga etnis Tionghoa yang otomatis dianggap WNI Tunggal, yaitu yang mengikuti pemilu di tahun 1955, veteran, mantan Angkatan Perang RI, polisi, pegawai negeri, dan mereka yang bermatapenca­harian sama dengan mayoritas penduduk seperti petani dan nelayan. Sementara yang tidak masuk dua kelompok itu berstatus Dwikewarganegaraan.
Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan UU No.62/1958­ tentang kewarganegaraan RI dengan sistem stelsel aktif. Akibat ketidaktahuan tentang stesel aktif, banyak penduduk Tionghoa awam yang masa bodoh terhadap berbagai dokumen administratif tetap bersikap pasif. Mereka tidak datang ke pengadilan. Akibatnya mereka gagal mempertahankan status­ WNI yang diperoleh dari UU No.03/1946. Dengan sikap pasifnya, mereka juga juga tidak datang ke Kedutaan Besar RRT. Hal ini membuat mereka tidak memegang formulir kewarganegaraan Indonesia sekaligus juga tidak memegang paspor RRT. Jadilah mereka diperlakukan sebagai orang tanpa kewarganegaraan alias stateless.
Mereka yang aktif datang mencatatkan pernyataan di pe­ng­adilan memperoleh tanda terima, yaitu formulir bernama “Surat Tjatatan Pernjataan Keterangan Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok untuk Tetap Menjadi Warganegara Republik Indonesia”. Dikenal sebagai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Konsekuensi diakuinya RRT dengan One China Policy-nya, juga membuat sekelompok penduduk keturunan Tionghoa yang sebelumnya memilih warga negara Taiwan menjadi stateless.
Kondisi bertambah rumit dengan terbitnya Peraturan Presi­den­ No.10/1959 di sela-sela pelaksanaan perjanjian dwike­warganegaraan RI-RRT itu. ­Peraturan tersebut melarang usa­ha perdagangan kecil dan eceran asing di luar ibu kota daerah swantantra tingkat I dan II serta karesiden­an serta mewajibkan pengalihan usaha mereka pada WNI pribumi. Dalam praktiknya, tidak jelas siapa yang dimaksud asing” ini, sehingga berakibat pengusiran” dan eksodus besar-be­sar­an WNI Tionghoa. Para penguasa militer di daerah se­enak­nya mengusir bukan saja orang Tionghoa asing tapi juga orang Tionghoa yang berdasarkan UU No.03/1946 telah menjadi Warga Negara Indonesia. Padahal berdasarkan UU No. 02/1958, sebelum dilaksanakan perjanjian dwikewarganegaraan, WNI Tionghoa tetap dianggap sebagai WNI.   
“Peraturan ini sangat rasialis,” papar Indradi. “Semua keturunan Tionghoa yang berdagang diusir. Anehnya keturunan asing lain yang beretnis Arab atau India tidak ikut diusir….”
Ratusan ribu keturunan Tionghoa berbondong-bondong meninggalkan Indonesia. Indradi melansir jumlah 140.000 orang. Kepada mereka diberikan surat Exit Permit Only (EPO). 40.000 di antaranya diangkut dengan kapal dari RRT, 100.000 lainnya terkatung-katung di Indonesia. Hidup bersembunyi dan penuh ketakutan. Mereka kemudian juga tidak melapor ke pengadilan. Demikianlah mereka men­jadi­ stateless.
Sepuluh tahun kemudian perjanjian dwikewarganegaraan dibatalkan sebagai puncak revolusi September 1965, di­gan­tikan dengan UU No.04/1969, namun tetap tidak ada kejelas­an status bagi penduduk stateless.
Charles Coppel mengutip data Jawatan Imigrasi bahwa pada 1966 terdapat 1.100.000 penduduk Tionghoa ber­status stateless dengan orientasi politik tidak jelas antara Indonesia, Tiongkok, atau Taiwan. Penduduk stateless itu kemudian beranak-cucu dan menyisakan masalah sampai sekarang.
Sapi Perah SBKRI
Melihat awal mula munculnya SBKRI, tidak ada masalah dis­­kriminasi di sana. SBKRI adalah sebuah surat bukti bagi ke­­turunan asing yang menyatakan diri berkeinginan menjadi WNI. Djasmin, MH, seorang praktisi hukum, menyatakan bah­­wa SBKRI menjadi sumber diskriminasi karena penafsiran bias ketentuan Pasal IV Peraturan Penutup UU No.62/1958. Dinyatakan bahwa “Barang siapa perlu membuktikan bahwa ia Warga Negara Republik Indonesia dan tidak mem­punyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai atau memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia Warga Negara Republik Indonesia atau tidak menurut hukum acara perdata biasa.”
Dalam kenyataannya SBKRI dijadikan syarat mutlak pel­ba­gai urusan administrasi kependudukan. Padahal untuk mem­­peroleh SBKRI diperlukan waktu lama dan biaya tidak murah, dalam be­be­rapa kasus bahkan dipersulit dan dijadikan lahan sumber rejeki aparat yang memanfaatkan ketidakta­huan penduduk.
Pada 1978 terbitlah Peraturan Menteri Kehakiman No. JB 3/4/12/1978 tentang SBKRI. Dinyatakan mereka yang per­lu membuktikan diri sebagai WNI bisa mengajukan surat permohonan kepada Menteri Kehakiman. Praktik di lapang­an membuktikan bahwa di beberapa daerah Peraturan Menteri ini masih dijadikan landasan mutlak kepemilikan SBKRI.
Di masa Orde Baru, SBKRI dikukuhkan lagi dengan Instruksi Presiden RI No.02/1980 dan Keputusan Presiden No.13/1980. Salah satu pertimbangannya adalah kepastian hukum bagi war­ga negara keturunan asing yang belum mempunyai bukti kewarganegaraan. Berangkat dari Inpres tersebut, SBKRI kem­bali menjadi keharusan untuk dimiliki etnis Tionghoa dalam ber­urusan dengan instansi terkait seperti Departemen Dalam Negeri, khususnya Catatan Sipil, untuk keperluan kelahiran, perkawinan, dan kematian; Departemen Pendidikan Nasional, untuk keperluan sekolah; Departemen Kehakiman dan HAM, khususnya jajaran imigrasi; pengurusan KTP, pengurusan sertifikat tanah di kantor pertanahan.
Pelbagai peraturan sebetulnya sudah mencabut SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. Sebut saja Keppres No. 56/1996 serta Instruksi Mendagri No.25/1996 tentang Juk­lak Keppres No.56/1996. Demikian juga Instruksi Presiden No.04/1999 yang pada esensinya menjelaskan bahwa berbagai kepentingan yang memerlukan bukti kewarganegaraan cukup menggunakan KTP, Kartu Keluarga, atau Akta Kelahiran. Bahkan keppres tersebut menyatakan segala peratur­an perundang-undangan untuk kepentingan tertentu yang mempersyaratkan SBKRI tidak berlaku lagi. Dalam praktiknya peraturan ini tidak berjalan. Bahkan setelah UU No.12/2006 berlaku, masih kita dengar oknum aparat menuntut SBKRI bagi­ WNI etnis Tionghoa yang mengurus berbagai dokumen. Data terakhir terjadi pada Agustus 2007, Kantor Imigrasi Jambi masih meminta SBKRI sebagai salah satu syarat pembuatan paspor.
Molan Tarigan, Atase Imigrasi Konsulat Jendral RI di Gu­ang­zhou, menyatakan bahwa penyelesaian masalah kewargane­garaan penduduk keturunan asing di Indonesia melibatkan tiga unsur. 
Pertama, struktur sistem hukum, yaitu institusi yang ber­we­nang dalam menentukan status kewarganegaraan serta yurisdiksi atau wewenangnya. Kedua adalah substansi hukum, meliputi atur­an, norma, produk, dan keputusan hukum. Yang terakhir adalah budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, pemikiran, nilai, kebiasaan, cara berpikir serta bertindak, baik dari aparat maupun masyarakatnya.
Sebuah kenyataan bahwa di Indonesia ketiga unsur ini masih berjalan timpang

Selasa, 22 Maret 2011

Lestarikan Kembali Pangan Lokal Indonesia

Betapa kayanya Indonesia. Apa yang tidak bisa ditanam di Indonesia. Kita semua harus mensyukuri atas semua pemberian Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yaitu  pemberian  berbagai macam bahan makanan, laus yang luas, laut yang hasilnya melimpah, tanah yang luas, tanah yang subur, sehingga apa yang di tanam bisa tumbuh dan menghasilkan pangan.
Indonesia mempunyai kelebihan yang luar biasa bila dibanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Apapun yang kita tanam bisa tumbuh bahkan orang Belanda bilang di Indonesia jari di tanam bisa tumbuh. Itu artinya bahwa wilayah Indonesia ini memang betul-betul sangat subur dan kaya akan berbagai macam pangan lokalnya.
Pangan lokal sesungguhnya merupakan bentuk kekayaan budaya kuliner kita. Keanekaragamannya yang terbentuk atas dasar ketersediaan bahan baku dan kebutuhan lokal, menjadikannya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan kebutuhan masyarakat akan energi bagi tubuhnya. Seperti halnya umbi-umbian.
Saat ini, umbi yang masih kita kenal hanya ubi jalar dan ubi kayu saja. Bagi kita, nama-nama umbi seperti gembili, ganyong, uwi, suweg, gadung, bentoel dan lain-lain terdengar asing ditelinga. Apalagi untuk anak-anak, saat ini mereka banyak yang tidak kenal jajanan pasar seperti gatot, tiwul, blendong/blendus/gronthol, jemblem, combro, cenil, klepon, gempo yang semakin lama semakin tenggelam dengan banyaknya makanan kemasan di warung-warung sekitar.
Selama ini makanan umbian masih kurang diminati karena masyarakat menilai pangan umbian saat ini ketinggalan zaman. Akibatnya pangan tersebut jarang sekali disajikan sebagai hidangan sehari-hari atau sebagai camilan. Masyarakat kini masih memandang bahwa makanan Barat yang siap saji (fast food) lebih baik, sehat dan higienis. Padahal, makanan tersebut hampir seluruhnya menggunakan bahan baku terigu yang bahan bakunya di impor, seperti pizza atau mie.
Siapa bilang umbi-umbian adalah makanan desa, ketinggalan zaman dan tak bergizi. Berdasarkan penelitian, umbi-umbian tersebut memiliki kandungan gizi yang tinggi. Suweg memiliki kandungan kalsium yang baik bagi pertumbuhan anak, dapat menguatkan tulang dan gigi baik bagi anak maupun orang dewasa. Begitu juga dengan kimpul, selain mengandung kalsium, juga mengandung kalori yang digunakan oleh tubuh untuk beraktifitas.
Sedangkan uwi memiliki fosfor dengan kandungan tinggi yang digunakan oleh tubuh untuk proses metabolisme. Tidak ketinggalan dengan gadung, umbi ini ternyata mengandung vitamin C cukup tinggi, bagus untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta menghindari serangan flu di musim yang mudah berubah seperti sekarang. Untuk umbi ganyong, data Direktorat Gizi Depkes RI menyebutkan bahwa kandungan gizi Ganyong tiap 100 gram secara lengkap terdiri dari kalori 95,00 kal; protein 1,00 g; lemak 0,11 g; karbohidrat 22,60 g; kalsium 21,00 g; fosfor 70,00 g; zat besi 1,90 mg; vitamin B1 0,10 mg; vitamin C 10,00 mg; air 75,00 g.
Untuk itu, perlu diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini tentang manfaat mengkonsumsi makanan umbi-umbian. Hal ini dapat dilakukan mulai dari keluarga dengan menyajikan makanan lokal, kantin sekolah bahkan pasar swalayan. Sehingga makanan lokal akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan juga bisa diterima secara internasional. Selain itu dengan memanfaatkan berbagai pangan lokal, akan baik bagi stabilitas pangan suatu daerah. Jenis yang semakin banyak memungkinkan masyarakat untuk memiliki alternatif pangan lain selain beras dan terigu.

Kamis, 17 Maret 2011

keterpurukan

Sadarlah
(by;Moch.Rijal.Fauzi)                                    
disaat kepuasan  dunia mulai menguasai kami
kami sudah terlena akan kepuasan itu
disaat kami merasa puas,
kami melupakan sang pencipta


disaat kehancuran mulai datang
kami tetap tak ingat sang pencipta
disaat bencana maha dahsyat datang
kami hanya bisa menangis

betapa kami rasakan kemarahan Allah terhadap kami
kami hanya bisa menagis disaat bencana itu telah menyapu dunia
kami merasakan jauhnya kasih sayang allah dari hati kami
kami sadar itu kesalahan kami

rasa takut akan kematian membayang-bayangi kami
resah dan gelisah menghantui kami
'ya allah,inikah bukti kekecewaan-Mu pada kami
kami sadar kami pun melupakan-Mu
tapi kini kami sadar bahwa kami tak akan bisa
mengalahkan segala kehendak Allah.

Jumat, 11 Maret 2011

pembagian zaman menurut arkeologi
Pembagian Zaman berdasarkan Kajian Arkeologis (Arkeologi: ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda peninggalannya) 
1. Zaman Batu - alat penunjang hidup dari batu - daya pikir manusia rendah 
a. Zaman Batu Tua (Palaeolithikum)
- 600.000 tahun silam (Kala Pleistocen / Dilluvium)
nomaden (berpindah-pindah), tergantung kesediaan bahan makanan, terutama binatang buruan
- berburu, mengumpulkan makanan, menangkap ikan   
b. Zaman Batu Tengah (Mesolithikum)
- 20.000 tahun silam
- bertempat tinggal tetap: tepi sungai, tepi pantai, gua
- berburu, mengumpulkan makanan, menangkap ikan
- perubahan yang terjadi lebih cepat dari Zaman Batu Tua
-ada pendatang dari Asia, alat yang digunakan ada pengaruh dari Asia  
c. Zaman Batu Muda (Neolithikum)
- menghasilkan makanan (food producing)
- dasar peradaban Indonesia sekarang
- bercocok tanam, beternak: masyarakat agraris
- aturan hidup
- pembagian kerja
- alat sudah diasah dan diupam
- tembikar
- tenunan
- mengembangkan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang 
d. Zaman Batu Besar (Megalithikum)
- membuat dan meninggalkan kebudayaan yang terbuat dari batu besar
-berkembang sampai zaman perunggu (zaman logam)
- kepercayaan terhadap roh nenek moyang
 

2. Zaman Logam (Zaman Perunggu)
- menggunakan logam untuk membuat berbagai alat
- kemungkinan bijih logam sudah ditemukan pada Zaman Palaeolithikum
- kemampuan melebur bijih logam menjadi lempengan logam terbentuk pada Zaman Neolithikum
- Zaman logam dibagi menjadi : zaman tembaga, zaman perunggu, zaman besi. Di Indonesia tidak ada zaman tembaga.
- Di Indonesia: zaman perunggu dan zaman besi berlangsung bersamaan

Kamis, 17 Februari 2011

manusia pada masa bercocok tanam

Perubahan mendasar terjadi pada awal tahapan ini. Pada masa ini manusia yang sebelumnya sekedar pengumpul makanan, mulai menjadi penghasil makanan dengan melakukan bertani dan berternak. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah (nomaden), tetapi relative telah menetap dan tinggal di perkampungan kecil.

Masa Bercocok Tanam (Jaman Neolitikum)

Dalam masa ini orang sudah menggosok alat-alat yang terbuat dari batu hingga halus. Pertanian dan perternakan sudah lebih maju dan orang sudah membuat rumah-rumah yang ditempati secara permanen. Rumah-rumah tersebut didirikan secara bergerombol sehingga menyerupai kampung. Pembuatan tembikar dan pertenunan sudah maju. Alat-alat batu yang menonjol dari masa ini ialah beliung persegi dan belincung. Beliung persegi ialah suatu alat yang dibuat dari batu kalisedon atau agat yang atasnya (bidang distal) melengkung, sedang bidang bawahnya (bidang proximal) sedikit melengkung. Bangian pangkal biasanya lebih kecil daripada bagian ujungnya. Bagian pangkal ini tidak digosok. Bagian ujungnya disebut juga bagian tajaman, digosok atau diasah hanya pada sisi bawah (pada bidang proximal saja). Beliung tersebut digosok hingga halus dan mengkilat. Cara menggunakan ialah diikat pada setangkai kayu. Cara mengikatnya ialah melintang (sama seperti cangkul). Beliung persegi ini digunakan untuk melubangi kayu atau kalau yang berukuran kecil digunakan untuk membuat ukiran. Hal ini diketahui dari kebiasaan beberapa suku Negro Afrika yang menggunakan alat-alat demikian untuk membuat ukiran kayu. Belincung berbentuk seperti beliung, akan tetapi bidang distalnya melengkung dan menyudut. Bidang penampangnya berbentuk segi lima. Alat ini kemungkinan dipergunakan untuk membuat perahu (dari sebatang pohon). Alat lain ialah kapak, yang bidang distal dan bidang proximalnya mempunyai bentuk yang sama. Tajaman diasah dari kedua sisi. Cara menggunakannya ialah diikat pada sebatang kayu dengan posisi membujur (seperti tamahawk suku Indian Amerika). Dari batu jenis agat dan jaspis (berwarna hijau kekuning-kuningan) dibuat pula gelang-gelang. Gelang-gelang ini digosok halus dan sering digunakan sebagai bekal kubur. Sudah dapat dipastikan gelang ini berfungsi juga sebagai perhiasan badan. Ada gelang kecil diameternya yang mungkin digunakan bagi anak kecil atau bayi. Cara pembuatannya cukup kompleks. Mula-mula batu agat dibentuk dengan cara memukul-mukul dengan batu lain sehingga berbentuk diskus (bulat pipih). Kemudian bagian bawah (salah satu sisi) digosok hingga rata. Sisi yang lain dibor dengan sebatang bambu. Pada permukaan bambu itu diberi pasir dan mungkin air, supaya batu lebih cepat terkikis. Mengebor memerlukan waktu lama. Setelah batu berlubang lalu dilanjutkan dengan menggosok atau menghaluskan lubangnya dengan alat yang terbuat dari fosil tanduk kambung hutan. Sisi luarnya pun digosok hingga halus.
Kapak, beliung, belincung banyak ditemukan di daerah Bekasi (Buni) Jawa Barat, sedangkan gelang-gelang dari batu agat banyak ditemukan di daerah Purwakarta. Di daerah Purbalingga diketahui terdapat perbengkelan pembuatan gelang dari batu jaspis. Selain itu ditemukan pula semacam kapak yang besar, besarnya hampir seperti cangkul sekarang. Alat tersebut memang digunakan mencangkul tanah. Di Indonesia bagian Timur, seperti Sulawesi, Maluku, Irian Jaya ditemukan kapak-kapak yang berpenampang lonjong (bulat telor). Bagian tajamnya melebar sedangkan pangkalnya runcing. Kapak semacam ini masih ditemukan dibuat di Iraian Jaya. Pada umumnya batu yang digunakan ialah batu hitam kehijauan. Kapak semacam ini dikenal di Jepang dan Filipina dan mungkin sekali kemudian menyebar ke Irian Jaya lewat Sulawesi dan Maluku. Anehnya, kapak lonjong ini tidak ditemukan di Indonesia bagian barat. Hal ini membuktikan bahwa antara Filipina dan Sulawesi terdapat hubungan kebudayaan pada masa Neolithicum. Dalam masa ini nampaknya sudah ada spesialisasi dalam masyarakat. Misalnya ada sebagian masyarakat yang hanya membuat beliung atau belincung secara kasar kemudian dibawa ke tempat lain untuk dihaluskan oleh orang lain. Tempat-tempat dimana kita mendapati berbagai macam kapak dan beling (belincung) yang masih kasar dinamakan atelier. Atelier ditemukan di Punung, Jawa Timur dan di Pasir Kuda (Jawa Barat).
Masa Bercocok Tanam (Jaman Neolitikum)
Kapak-kapak atau beliung yang belum jadi disebut Planche. Peninggalan lain yang banyak terdapat dari masa neolithicum ialah tembikar. Pembuatan tembikar dapat diketahui dengan metode pembakaran terbuka. Cara membentuk tanah liat tidak menggunakan roda pemutar, jadi hanya dibentuk dengan tangan saja. Akibatnya jika membuat bentuk periuk misalnya, terdapat bagian-bagian yang tebalnya tidak rata. Karena sistem pembakarannya adalah sistem terbuka, akibatnya suhu yang ditimbulkan adalah suhu rendah. Oleh karena itu tembikar masa Neolithicum ini sangat poreous (berpori). tembikar yang berukuran besar dibuat dengan membuat pilinan tanah liat yang panjang, kemudian dilingkarkan satu di atas yang lain. Untuk menghaluskan dipakai sebuah batu halus yang dipegang tangan kiri dan ditaruh di dinding sebelah dalam. Dari sebelah luar dipukul-pukul dengan kayu yang ujungnya melebar (tetap). Cara ini sering dipakai untuk membuat tempayan, periuk besar, pasu, dan lain-lain. Untuk membuat hiasan pada tembikar, sering kita jumpai permukaan tatap itu diukir. Akibatnya akan terdapat bekas-bekas pada permukaan periuk hiasan. Hiasan tersebut adalah dicap (impressed), berbeda dengan hiasan lain yang digores (incised). Dengan menggunakan sebatang lidi atau bambu, permukaan gerabah yang belum di bakar digores digambari (biasanya dengan pola geometris), baru kemudian dibakar. Tembikar atau gerabah banyak ditemukan sebagai bekal kubur. Nampaknya masyarakat pada masa itu sudah memasak makanannya dengan tembikar ini, sebab ada yang ditemukan bagian bawahnya hitam bekas api. Pada masa Neolithicum sudah dikenal pula pertenunan. Hal ini diketahui dari ditemukannya pecahan tembikar dengan cap tenunan pada permukaannya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu dibuat dan masih basah benda tembikar itu diletakkan di atas bahan tenunan. Bahan tenunan yang diketahui ialah tenun bogor, yang benangnya dibuat dari daun gebang. daun gebang disayat halus-halus, sehingga dpat dipakai sebagai benang tenun. Tenunan semacam ini masih terdapat di daerah Yogyakarta. Pada umumnya sekarang hasilnya dipakai sebagai bungkus barang dagangan. Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, pada masa Neolithicum budaya manusia telah maju dengan pesat. Berbagai macam pengetahuan telah dikuasai, misalnya pengetahuan tentang perbintangan, pranatamangsa (cara menentukan musim berdasarkan perbintangan atau tanda-tanda lainnya), pelayaran, kalender (menentukan hari baik atau buruk) gamelan, wayang, pertenunan, dan sebagainya. Masih banyak unsur-unsur kebudayaan Neolith itu yang masih hidup hingga sekarang. Salah satu diantaranya ialah pertenunan dengan menggunakan tenun gendong. Unsur-unsur lainnya yang dapat disebutkan dan masih hidup hingga sekarang misalnya gamelan, wayang, pranata mangsa, pelayaran, kalender, dan sebagainya. Yang dapat diungkapkan ialah adanya kepercayaan manusia terhadap hidup sesudah mati. Berdasarkan penggalian-penggalian dimana kerangka manusia ditemukan, dapat diketahui bahwa hampir semua kerangka manusia tidak memiliki telak kaki. Rupanya waktu sebelum dikubur, telapak kaki itu dipotong dengan harapan supaya kerangka itu tidak dapat tegak berdiri lagi. tengkorak (kepala) si mati dihadapkan ke suatu gunung di dekat kuburan itu. Hal ini menunjukkan bahwa gunung dianggap sebagai tempat penting para roh. Biasanya kerangka itu dikubur membujur timur-barat atau tergantung kepada letak gunung yang di anggap keramat sekitar tempat itu. Hal ini berbeda dengan kerangka-kerangka yang ditemukan dalam pemakaman Islam yang membujur utara-selatan dengan tengkorak menghadap ke kiblat (Barat). Selain penguburan langsung atau disebut juga penguburan primer dimana mayat dikubur langsung ke dalam tanah atau dimasukkan ke dalam tempayan secara utuh, ada pula sistem penguburan yang disebut cara penguburan sekunder, yaitu setelah mayat dikubur beberapa lama (atau diletakkan si sebuah padang) lalu tulang belulangnya dipilih dan dengan upacara besar-besaran dikuburkan. Ada pula suatu adat dimana tulang belulang manusia dimasukkan kedalam tempayan lalau di kubur, sebagai mana terlihat dalam penggalian di Mololo (Sumba Timur) Merak (Jawa Barat), Gilimanuk (Bali). Adat semacam ini masih terdapat pada suku Dayak di Kalimantan.
2.     MASA BERCOCOK TANAM (food Producing) dan berternak
a)     Kehidupan Sosial
-  Kehidupan bercocok tanamnya dikenal dengan berhuma, yaitu teknik bercocok tanam dengan cara membersihkan hutan dan menanaminya. Setelah tanah tidak subur maka mereka akan berpindah ke tempat lain yang masih subur dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang. Pada perkembangannya mulai menetapkan kehidupan bercocok tanam pada tanah-tanah persawahan
- Telah tinggal menetap di suatu tempat, mereka tinggal di sekitar huma tersebut, dengan cara bercocok tanam dan memelihara hewan-hewan jenis tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah hidup menetap Hal ini juga menunjukkan bahwa manusia telah dapat menguasai alam lingkungan.
- Dengan hidup menetap, merupakan titik awal dan perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai kemajuan. Dengan hidup menetap, akal pikiran manusia mulai berkembang dan mengerti akan perubahan-perubahan hidup yang terjadi.
-  Jumlah anggota kelompoknya semakin besar sehingga membuat kelompok-kelompok perkampungan, meskipun mereka masih sering berpindah-pindah tempat tinggal.
-  Populasi penduduk meningkat. Usia rata-rata manusia masa ini 35 tahun.
-  Muncul kegiatan kehidupan perkampungan, oleh karena itu di buat peraturan, untuk menjaga ketertiban kehidupan masyarakat.

-  Diangkat seorang pemimpin yang berwibawa, kuat, dan disegani untuk mengatur para anggotanya.
-  Mereka hidup bergotong royong, sehingga mereka saling melengkapi, saling membantu, dan saling berinteraksi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.


b)     Kehidupan  Ekonomi
-  Mereka telah mengenal sistem barter, dimana terjadi pertukaran barang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sistem barter merupakan langkah awal bagi munculnya sistem perdagangan/ sistem ekonomi dalam masyarakat.
-  Hubungan antar anggota masyarakat semakin erat baik itu di lingkungan daerah tersebut maupun di luar daerah
- Sistem perdagangan semakin berkembang seiring dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat.
- Untuk memperlancar diperlukan suatu tempat khusus bagi pertemuan antara pedagang dan pembeli yang pada perkembangannya disebut dengan pasar. Melalui pasar masyarakat dapat memenuhi sebuah kebutuhan hidupnya.

c)      Kehidupan Budaya
-   Kebudayaan semakin berkembang pesat, manusia telah dapat mengembangkan dirinya untuk menciptakan kebudayaan yang lebih baik
-   Peninggalan kebudayaan manusia pada masa bercocok tanam semakin banyak dan beragam, baik yang terbuat dari tanah liat, batu maupun tulang
-    Hasil kebudayaan pada masa bercocok tanam:
Beliung Persegi, Kapak Lonjong, Mata panah, Gerabah, Perhiasan, Bangunan Megalitikum seperti menhir, dolmen, sarkofagus, kubur batu, punden berundak, waruga, arca.

d)     Kepercayaan
-   Pada masa ini kepercayaan masyarakat semakin bertambah, bahkan masyarakat juga mempunyai konsep tentang apa yang terjadi dengan seseorang yang telah meninggal
-  Inti kepercayaannya, yaitu penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang sebagai suatu kepercayaan yang berkembang di seluruh dunia.
-  Di Indonesia, kepercayaan dan pemujaan terhadap roh nenek moyang terlihat melalui peninggalan berupa tugu-tugu batu/ bangunan megalitikum yang letaknya di puncak bukit, di lereng gunung/ tempat yang lebih tinggi dari daratan sekitarnya. Hal ini muncul dari anggapan masyarakat bahwa roh-roh tersebut berada pada suatu tempat yang lebih tinggi. Terdapat peninggalan yang berhubungan dengan kepercayaan, yaitu terdapat kebudayaan batu besar seperti menhir, dolmen, sarkofagus, waruga, arca, serta punden berundak

-  Kepercayaan masyarakat pada masa ini diwujudkan dalam berbagai upacara tradisi Megalitikum/upacara-upacara keagamaan, persembahan kepada dewa dan upacara penguburan mayat yang dibekali dengan benda milik pribadi ke kuburnya.
-   Terdapat kepala suku yang memiliki kekuasaan dan tanggungjawab penuh terhadap kelompok sukunya. Seorang kepala suku dapat mengatur dan melindungi kelompok sukunya dari segala bentuk ancaman seperti, ancaman dari binatang buas, ancaman dari kelompok lainnya, ancaman dari wabah penyakit. Roh nenek moyang selau mengawasi kelompok masyarakatnya. Kepala suku berhak mengambil keputusan apapun.
-   Wujud kepercayaan pada masa ini tampak dengan telah dihasilkan bangunan megalit, seperti menhir, dolmen, keranda, kubur batu, dll. Adanya bangunan megalit menunjukkan bahwa pemujaan roh nenek moyang mempunyai tempat penting dalam kehidupan rohani pada masa itu. Pada masa itu telah ada pula upacara yang berkaitan erat dengan kepercayaan atau agama.

e)   Teknologi
Pada masa bercocok tanam, kebudayaan orang-orang purba mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada masa ini terjadi revolusi secara besar-besaran dalam peradaban manusia yaitu dari kehidupan food gathering menjadi food producing. Sehingga terjadi perubahan yang sangat mendalam dan meluas dalam seluruh penghidupan umat manusia.


pembagian zaman menurut geologi

Pembagian Zaman berdasarkan Kajian Geologis

(Geologi : ilmu yang mempelajari tentang komposisi, struktur, dan sejarah bumi)

1. Zaman Arkaekum
- berusia 2.500 juta tahun
- bumi belum stabil dan masih panas
- kulit bumi dalam proses pembentukan
- belum ada tanda-tanda kehidupan

2. Zaman Palaeozoikum / Zaman Primer / Zaman Pertama
- berusia 340 juta tahun
- bumi belum stabil
- sudah ada tanda-tanda kehidupan:
> makhluk bersel satu (mikroorganisme)
> binatang yang tidak bertulang punggung (contoh: trilobita)

> beberapa jenis ikan

> amfibi, reptil

3. Zaman Mesozoikum / Zaman Sekunder / Zaman Kedua
- berusia 140 juta tahun
- kehidupan mengalami perkembangan yang pesat
- muncul binatang besar :
> dinosaurus

> burung besar

4. Zaman Neozoikum (Kainozoikum)
- berusia 60 juta tahun
- keadaan bumi semakin baik
- perubahan cuaca tidak begitu besar
- kehidupan berkembang dengan pesat

Zaman neozoikum dibedakan atas dua zaman:

a. Zaman Tertier
- berkurangnya binatang besar
- ada binatang menyusui: kera dan monyet



b. Zaman Quarter
- 600.000 tahun yang lalu
- adanya manusia purba


Zaman quarter terdiri atas dua bagian:
1) Kala Pleistocen / Zaman Dilluvium / Zaman Glasial / Zaman Es
- 600.000 tahun yang lalu
- es Kutub Utara mencair, menutupi sebagian Eropa Utara, Asi Utara, dan Amreika Utara

2) Kala Holocen / Zaman Alluvium
- 20.000 tahun yang lalu
- hidup homo sapiens (manusia seperti sekarang)


Perkembangan zaman-zaman tersebut berhubungan dengan perkembangan kepulauan di Indonesia.
- sebelum zaman es, wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan Asia, wilayah Indonesia bagian timur bersatu dengan daratan Australia
- pada zaman es, wilayah Indonesia dipisahkan oleh lautan dengan Asia ataupun Australia.
Bekas daratan yang menghubungkan Indonesia Barat dan Asia dinamakan Paparan Sunda (Sunda Plat).
Bekasa daratan yang menghubungkan Indonesia Timur dan Australia dinamkan Paparan Sahul (Sahul Plat).
Daerah lautan yang memisahkan kedua paparan tersebut disebut Zona Wallace.